Saqifah Bani Saidah adalah nama sebuah tempat bersejarah di Madinah.
Bagi kebanyakan jamaah haji, nama saqifah ini tak sekondang tempat
bersejarah lainnya, seperti Gunung Uhud (berikut areal makam para
syuhada perang Uhud), Masjid Quba, Masjid Qiblatain, kawasan bekas
perang Khandaq, atau pemakaman Baqi. Rombongan jamaah haji selalu
mengagendakan ziarah ke tempat-tempat itu. Bahkan ada tempat favorit
yang tak terkait sejarah Islam, yang justru jadi tujuan ekstra ziarah,
yakni Medan Magnet (orang Saudi menyebutnya, Mantiqah Baydha). Medan
Magnet ini memikat, karena mampu menarik mobil jalan sendiri sampai
kecepatan 120 KM per jam.
Saqifah Bani Saidah kalah populer dibanding
tempat-tempat itu.Tapi bagi
mereka yang perhatian pada sejarah awal politik Islam, Saqifah itu
memiliki nilai sejarah tersendiri. Di sinilah, Abu Bakar Al-Shiddiq,
pertama dibaiat menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Di Saqifah
inilah, kalangan sahabat Anshar dan Muhajirin berkumpul, membicarakan
siapa pengganti Nabi Muhammad SAW, pada saat jenazah Nabi masih belum
dimakamkan. Sehingga bagi sebagian kalangan, perbincangan politik di
Saqifah itu mengundang cibiran, ”Urusan jenazah Nabi belum dituntasan,
kok sudah bicara kekuasaan.”
Peristiwa Saqifah itu, bagaimanapun, juga menjadi cikal bakal,
tumbuhnya benih perpecahan politik-teologis umat Islam, dalam dua faksi
besar: Sunni dan Syiah. Bagi kalangan Syiah, kesepakatan politik di
Saqifah itu merupakan penyerobotan atas hak Ali bin Abi Thalib, yang
dipandang sebagai pewaris dan lebih berhak atas kepemimpinan Islam
(imamah) pasca Rasulullah. Bagi kalangan Sunni, peristiwa di saqifah itu
jadi obyek kajian menarik untuk mendiskusikan mekanisme pengangkatan
pemimpin dalam Islam.
Saqifah itu dulunya berupa tempat mirip aula, ada pula yang kerap
dipakai duduk-duduk, berteduh, sambil berbincang. Rasulullah pernah
salat di tempat ini, lalu duduk dan minum air. Di Utara Saqifah itu ada
sumur milik Bani Saidah. Keluarga Saidah adalah sahabat Nabi yang kerap
menemani Nabi duduk-duduk di Saqifah.
Tempat itu kini masih dipertahankan, dikelola, dilestarikan dalam
bentuk taman. Posisinya di sisi Barat Daya Masjid Nabawi, berjarak
sekitar 200-an meter. Berseberangan jalan dengan Perpustakaan Raja Abdul
Aziz. Itulah satu-satunya taman di kawasan tersebut. Bentuknya empat
persegi, sekitar 30 x 30 meter.
Beragam tanaman, pot-pot bunga, rumput, pohon kurma, tanaman lidah
buaya, dan masih jenis tumbuhan lain, menghijaukan kawasan tersebut.
Memberikan kesegaran di tengah kegersangan. Kicauan burung aneka jenis
makin menambah riang suasana taman. Suasana demikian ini sulit dijumpai
di sudut Madinah lain, yang lebih banyak dipenuhi ‘taman beton’, gunung
batu, atau padang gersang.
Reference : Republika